Halaman

Imam Ali Ibn Abi Thalib as

Barangsiapa yang rindu kepada surga, dia akan berpaling dari tuntutan hawa nafsunya.
Barangsiapa yang takut api neraka, dia akan menjauhi hal-hal yang terlarang.
Barangsiapa yang zuhud (tidak rakus) terhadap dunia, dia akan menganggap ringan suatu musibah
Barangsiapa yang bersiap-siap menghadapi kematian, dia akan bersegera melakukan kebaikan

Search




Wednesday, December 28, 2011

Kisah "Natal"

Kisah "Natal"

Berikut adalah tweets dari @salimafillah mengenai Natal yang dikutip dari twitter beberapa waktu lalu.

------------------------------------

1. #Natal ini, terkenang ujaran Allahu yarham KH Abdullah Wasi'an; "Saudara-saudaraku Nashara terkasih, beda antara kita tidaklah banyak
2. Wasi'an: "Kalian mengimani Musa, juga 'Isa. Kamipun sama. Tambahkanlah satu nama; Muhammad. Maka sungguh kita tiada beda. #Natal
3. Wasi'an: "Kalian imani Taurat, Zabur, & Injil. Kamipun demikian. Tambahkan AlQuran, maka sungguh kita satu tak terpisahkan." #Natal
4. Sungguh adanya kerahiban jadikan kalian lembut hati & dekat pada kami; sementara Yahudi & musyrik musuh terkeras kita. (QS 5: 82). #Natal
5. Tapi mungkin memang sudah tabiat 'aqidah, satu sama lain tak rela jika kita tak serupa dalam agama secara sepenuhnya. (QS 2: 120). #Natal
6. Bagaimanapun, selama kita tak saling memerangi & usir-mengusir tersebab iman, tak terlarang kita saling berkebajikan. (QS 60: 8). #Natal
7. Maka inilah kita mencari titik singgung iman demi kebersamaan; itulah pengakuan ke-Ilahi-an Allah tanpa persekutuan. (QS 3: 64). #Natal
8. Tetapi kami insyafi sepenuhnya, yakin di dada tak bisa dipaksakan. Kami hormati segala nan tak bisa dipertemukan. (QS 109: 6). #Natal
9. Dalam keberbedaan itu, izinkan kami tetap mencintai 'Isa & Maryam, meski kami tak bisa memohon kalian mentakjubi Muhammad. #Natal
10. Izinkan jua kami, membaca dengan berkaca-kaca betapa indah Surat dalam Quran yang berjudul Maryam. Gadis tersuci sepanjang zaman. #Natal
11. Najasyi Habasyah & Uskup-uskupnya, juga para Patriarkh Najran menitikkan airmata, dibacakan Surat Maryam. Berkenankah kalian jua?#Natal
12. Ini sungguh bukti bahwa Allah, Nabi, & Al Quran kami mengajarkan pemuliaan nan mengharukan pada Maryam & 'Isa yang tiada duanya. #Natal
13. Termuliakanlah 'Isa dengan penciptaan & kelahiran nan ajaib yang bagi kami begitu agung sebagaimana penciptaan Adam. (QS 3: 59). #Natal
14. Termulialah 'Isa nan bicara dalam buaian. Salam sejahtera baginya di saat lahir, kelak diwafatkan, & nantinya dibangkitkan. (QS 19: 33)
15. Saudara Nasrani terkasih; kami mencintai 'Isa, Nabi & RasulNya. Ruh & kalimatNya, yang ditiup-tumbuhkan dalam rahim suci Maryam
16. #Natal ini, kalian rayakan kelahiran 'Isa yang agung; tapi bagi kami tanggal 25 Desembernya agak membuat terkerut dahi bertanya-tanya.
17. Sebab Maryam nan sungguh berat ujiannya itu bersalin di saat kurma masak penuh tandannya. Kemungkinan itu Maret, bukan Desember. #Natal
18. Maafkan jika menyinggung hati, tapi sungguh telah ditulis para Sejarawan, 25 Des itu hari kelahiran Janus & Mitra, Dewa Matahari. #Natal
19. Sungguhpun ingin rasanya syukuri lahirnya Rasul Ulul 'Azmi nan teguh hati; 'Isa, agak tak nyaman hati kami dengan hari pagan ini. #Natal
20. Sayangnya, hampir seluruh gereja sudah menyepakatinya, sampai seorang Sejarawan memelesetkan 'Son of God' sebagai 'Sun of God'. #Natal
21. Itulah awal-awal yang membuat kami berat hati untuk ucapkan Salam #Natal. Ini harinya Janus & Mitra. Bukan harinya 'Isa, kawan terkasih.
22. Tentu tradisi ribuan tahun dengan salju & cemara, pohon sesembahan pagan Eropa itu tak bisa kami paksa untuk diubahkan seenaknya. #Natal
23. Tinggal kini, dalam hasrat hati tuk membalas penghormatan yang kalian berikan di 'Idul Fitri & Adhha, kami kan simak para 'ulama. #Natal
24. Sungguh, agama ini memerintahkan untuk membalas tiap pemuliaan dengan penghargaan yang lebih baik, minimal senilainya. (QS 4: 86) #Natal
25. Yang disepakati para 'ulama atas keharamannya adalah keterlibatan dalam segala yang bernilai ritual & ibadah. Pun jua Fatwa MUI. #Natal
26. Jika keterlibatan dalam kegiatan #Natal nan bersifat ibadah & ritual disepakati haramnya, para 'ulama
ikhtilaf pada soal ucapan selamat.
27. Yang membolehi selamat #Natal al Dr. Musthafa Az Zarqa, Dr. Yusuf Al Qaradlawy; menyebut tahniah tak terkait dengan ridha atas 'aqidah.
28. Tahniah #Natal, kata keduanya; bisa menjadi da'wah sebagaimana Ibrahim bicara tentang tertuhannya bintang, bulan, mentari. (QS 6: 77-83)
29. Oh iya, QS 6: 77-83 TIDAK berkisah tentang 'Ibrahim Mencari Tuhan', tapi 'Ibrahim Berda'wah', demikian ditegaskan Al Qurthuby. #Natal
30. Maka tahni-ah #Natal yang diikuti komunikasi intensif sebagaimana dilakukan Ibrahim pada penyembah bintang, bulan, mentari adalah indah.
31. Dr. Abdussattar memberi catatan kemubahan tahni-ah #Natal ini dengan kehati-hatian memilih diksi. Doa menuju hidayah lebih dianjurkan.
32. Adapun Al 'Utsaimin, Lajnah Fatwa KSA, dll cenderung mengharamkan tahni-ah #Natal tersebab hal itu sama dengan meridhai 'aqidah keliru.
33. Jadi ikhtilaf 'Ulama terkait tahni-ah #Natal ini ada di ranah pemaknaan kalimat ucapan tersebut. Masing-masingnya lalu mengajukan dalil.
34. Ulamapun berfatwa sesuai konteks di seputarnya, tentu ada perbedaan lingkungan sosial nan melatarbelakangi fatwa nan tak sama. #Natal
35. Lajnah Fatwa KSA&Al Utsaimin menjawab di negeri yang nyaris tiada Nasrani. AlQardhawy & Az Zarqa berfatwa tuk masyarakat majemuk. #Natal
36. Bagaimana sikap atas beda fatwa ucapan #Natal? Kata Asy-Syafi'i, Al Khuruj minal Ikhtilaafi Mustahabb: keluar dari selisih itu disukai.
37. Dengan jernih hati & mengukur kapasitas diri, kita bisa mempertimbangkan kedua-duanya. Ada keadaan-keadaan yang harus dicermati. #Natal
38. Ikhtilaf ahli ilmu insyaaLlah menjadi kemudahan bagi kita untuk beramal yang tak sekedar benar, melainkan juga tepat & cerdas. #Natal
39. Akan ada yang menghajatkan fatwa Al Qaradlawy & Az Zarqa, al; di wilayah muslim minoritas, keluarga majemuk nan erat hubungan dll #Natal
40. Akan ada juga yang hajatkan fatwa Al 'Utsaimin pada posisi memelihara 'izzah agama. Misalnya Raja KSA sebagai Khadimul Haramain. #Natal
41. Kata Abu Hanifah; yang terpenting BUKAN mengamalkan pendapat kami atau tidak. Melainkan mengetahui bagaimana kami menetapkannya. #Natal
42. Dan adalah dosa; mengatasnamakan 'ulama tuk haramkan sesuatu; padahal mereka tidak; cermati misalnya Fatwa MUI ini: http://media.isnet.org/antar/etc/NatalMUI1981.html
43. Mengamalkan atau tak mengamalkan; jauh lebih ringan dari soal menghalalkan & mengharamkan; karena ia adalah haq Pembuat Syari'at. #Natal
44.Sebab itu; para 'Ulama mengistilahkan beda pendapat Fiqh dalam dimensi SHAWAB (tepat) & KHATHA' (keliru), bukannya HAQ & BATHIL. #Natal
45. Maka dengan ilmu memadai, mari beramal terbaik bagi iman kita pada Allah, bagi misi kita sebagai ummat terbaik di tengah manusia. #Natal
46. Demikian bincang #Natal. Semoga tak kecewa karena jawabnya tak satu. Sebab Salim, terlalu bodoh untuk lancang mentarjih ikhtilaf Ulama

Agar Nafkah Menjadi Berkah

sumber: http://ceritateladan.com/2011/12/agar-nafkah-keluarga-menjadi-berkah/

Agar Nafkah Menjadi Berkah

Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.

Allah berfirman,

”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).

Dan ketika sahabat yang mulia, Salman Al-Farisy radhiallahu ‘anhu ditanya oleh seorang musyrik, Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab, ”Benar, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar dan ketika buang air kecil…[1]

Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, dengan tujuan untuk membimbing orang-orang yang beriman agar mereka meraih keberkahan dan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pembelanjaan harta mereka yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.”[2]

Disamping itu, mengatur pembelanjaan harta sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala merupakan cara terbaik untuk mengatasi keburukan nafsu manusia yang tidak pernah puas dengan harta dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[3]

Juga sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[4]

Kewajiban mengatur pembelanjaan harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.”[5]

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hAl-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia.[6]

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idha’atul maal (menyia-nyiakan harta).[7]

Arti “idha’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan.[8]

Antara pemborosan dan penghematan yang berlebihan

Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67)

Artinya, mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan).[9]

Juga dalam firman-Nya,

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29)

Imam Asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Arti ayat ini, larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah.”[10]

Waspadai fitnah (kerusakan) harta!

Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[11]

Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”(QS. At-Tagaabun: 15).[12]

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[13], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[14]

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan), Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya.[15]

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf  berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.”[16]

Zuhud dalam masalah harta

Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hAl-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.”[17]

Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu.”[18]

Jangan lupa menyisihkan sebagian harta untuk sedekah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS. Sabaa’: 39).

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat.[19]

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya.”[20]

Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hAl-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.”[21]

Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.

Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma.”[22]

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.”[23]

Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.”[24]

Nasehat dan penutup

Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapapun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.

Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[25]

Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[26]

Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[27].

Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang AllahSubhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.”[28]

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

sumber:www.PengusahaMuslim.com


[1] HSR Muslim (no. 262).

[2] HSR Al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).

[3] HSR Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[4] HR At-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan Al-Albani.

[5] HR At-Tirmidzi (no. 2417), Ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani dalam “As-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

[6] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).

[7] HSR Al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).

[8] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).

[9] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).

[10] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).

[11] HR At-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan Al-Albani.

[12] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).

[13] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 - Mawaaridul amaan).

[14] HSR Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[15] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).

[16] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).

[17] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).

[18] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).

[19] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).

[20] HSR. Muslim (no. 2588).

[21] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).

[22] HSR Al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).

[23] HSR Muslim (no. 2626).

1 HSR Al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

2 HSR Al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).

[26] HSR Muslim (no. 34).

[27] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).

[28] HSR Muslim (no. 1054).



Apakah Perempuan Itu Manusia?


Apakah Perempuan Itu Manusia?

Apakah perempuan itu manusia? Inilah sebuah pertanyaan yang membingungkan orang Eropa dalam waktu yang lama. Mereka berkumpul pada tahun 586 SM di Perancis untuk meneliti isu ini dan menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian mereka menyimpulkan—setelah pertemuan, konsultasi, dan diskusi—bahwa perempuan diciptakan untuk mengabdi kepada laki-laki, dan hal itu tidak terjadi kecuali 30 tahun hingga Nabi saw. bangkit, dan mengatakan kepada dunia bahwa perempuan adalah pasangan hidup laki-laki dan kehidupan dunia adalah perhiasan dan perhiasan yang terbaik adalah wanita yang salihah (baik). Banyak ayat Alquran dan hadis Nabi yang menghormati dan memuliakan perempuan serta fungsi pentingnya di masyarakat.

Sebelum masa Nabi Muhammad, di India, wanita tidak punya hak untuk hidup setelah kematian suaminya, tapi harus ikut dengan kematian suaminya. Setelah masa Nabi Muhammad, wanita adalah pendamping lelaki.
Sebenarnya, saudara dan saudari sekalian, siapapun yang membaca jalan hidup (sirah) Nabi akan mendapati bahwa peran perempuan dalam masyarakat pada saat itu lebih besar dari pada peran perempuan pada masa sekarang. Perempuan pada masa Nabi, berperan sebagai istri, ibu, pergi berperang, sebagai dokter, memberikan pendapat umum soal agama (fatwa), juga memberikan nasihat kepada hakim (dan penguasa). Oleh karena itu, banyak dari para istri Nabi yang biasa memberikan saran dalam bidang politik dan sosial.
Sebelum masa Nabi Muhammad, di Yahudi, ketika wantia mengalami menstruasi (haid), lelaki tidak makan atau minum bersama mereka. Lelaki menjauhi wanita. Setelah masa Nabi Muhammad, Aisyah meriwayatkan, “Saya terbiasa minum dari gelas yang dipakai Nabi untuk minum… dan dia juga minum setelah saya ketika masa periode (haid).”
Saya jadi berpikir, apakah peran perempuan masa sekarang kembali ke masa sebelum Nabi Muhammad saw?
Sebelum masa Nabi Muhammad, bangsa Arab, membunuh perempuan adalah perbuatan mulia. Setelah masa Nabi Muhammad, kehidupan dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang salihah (baik).
Hari ini, saudara dan saudari sekalian, masih ada para ayah yang memaksa putri mereka untuk menikah dengan pria yang tidak ia inginkan. Pernah datang kepada Nabi, seorang wanita yang mengeluh karena ayahnya memaksanya untuk menikahi pria yang tidak disukainya. Kemudian Nabi memanggil ayah itu dan menyerahkan situasi kepada pilihan wanita apakah setuju dengan tindakan ayahnya atau membatalkan perkawinan. Kemudian wanita itu (semoga Allah rida kepadanya) berkata, “Saya menerima apa yang ayah saya lakukan, tapi ini semua bertujuan untuk membebaskan wanita bahwa sebenarnya seorang ayah tidak berhak melakukan itu!”
Seorang suami memukul istrinya setiap 18 detik di Amerika Serikat.
Juga menjadi biasa dalam fenomena sosial, khususnya bangsa Arab, adalah beberapa pria malu untuk menyebutkan nama istri atau ibu mereka di depan teman-teman. Anda temukan mereka berkata, “Zaujatî, Allâh yakrimak (Istri saya, semoga Allah memuliakan Anda)” atau, “Al-mar’ah, Allah ya’izzak (Wanita itu, semoga Allah membesarkan Anda).” Kalimat ini sudah biasa. Seolah-olah nama perempuan itu aurat yang harus ditutupi. Padahal dulu Nabi ketika ditanya, “Siapa orang yang paling Anda cintai?” Beliau mengatakan, “Aisyah.” Beliau tidak mengatakan, “Istri kedua saya,” atau, “Ibunya anak-anak.”
Terungkap, 2 juta wanita telah dipukul di Perancis setiap tahunnya.
Saudariku, jika ada seseorang yang dianiaya, apakah oleh ayahnya atau suaminya, kirimkan pesan kepada kami melalui situs program ini. Kami berjanji akan menyampaikannya ke pemimpin eksekutif Amnesty Commision and the Reform of Albin, Dr. Nassir Az-Zahrani. Komite ini diketuai oleh Pangeran Abdulmajid bin Abdulaziz.
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Dengan maksud apa Anda memukul istri seperti memukul budak, kemudian tidur bersamanya pada malam hari?”
Tidak ada keraguan bahwa Islam memberikan banyak hak bagi lelaki “terhadap perempuan”. Nabi bersabda, “Seandainya saya memerintahkan seseorang untuk tunduk kepada orang lain, maka saya akan perintahkan istri untuk tunduk terhadap suaminya, karena besarnya hak suami terhadap istri.” Jadi tidak ada keraguan tentang ini dan tidak ada yang menolak, tapi Islam tidak memberikan hak bagi lelaki untuk bertindak zalim (tirani), menganiaya atau memukul istri dan putrinya. Karena bagi putri, perempuan dan istri ada kehormatan Islam yang harus kita hormati!
Di Inggris, 77 persen suami memukul istri karena tanpa sebab.
Rasulullah saw. bersabda, “Bermurah-hatilah terhadap qawarir (perempuan).” (Catatan: Nabi menggunakan kata qawarir yang dalam bahasa Arab merujuk pada mereka yang memiliki kehalusan hati, kebaikan, dan kelembutan). Salah seorang ulama mengatakan, “Benar bahwa perempuan adalah sebagian dari lingkungan sosial, tapi ingat bahwa ia adalah yang mengasuh sebagian yang lain. Maka wanita adalah keselurahan kehidupan sosial.”
Saya yakin, saudara saudariku, bahwa negara Islam tidak akan bangkit kecuali jika kita memberikan kepada perempuan kemuliaannya, ketinggiannya, dan penghormatannya di lingkungan sosial, baginya untuk menjadi seorang ibu yang memiliki martabat, yang melahirkan bagi kita seseorang seperti Umar bin Abdulaziz, Shalahuddin Al-Ayyubi, dan pria-pria lain yang tiada tandingnya.


Sumber: Khawâthir Syâb merupakan acara yang pandu oleh Ahmad Asy-Syaqiri di televisi Arab Saudi yang khusus mengupas kehidupan sehari-hari dunia Arab dan ditayangkan pada bulan Ramadan.



Penerjemah: Ali Reza Al-Jufri © 2009

Apakah yang Dimaksud dengan Kufur?

http://ht.ly/7THqc

Apakah yang Dimaksud dengan Kufur?

Tanya:
Assalamu’alaikum wr. wb.

Apa yang dimaksud dengan kufur oleh al-Qur’an dan bagaimana
kekufuran itu dinilai?

[Salim Efendi Zarkasyi via formulir pertanyaan]

Jawab:
Wa’alaikumsalam wr. wb.

Al-Qur’an menggunakan istilah kufur untuk berbagai makna. Sementara itu, ulama menguraikan lima macam kekufuran, yaitu apa yang mereka namakan kufur juhûd yang terdiri dari dua macam. Pertama, mereka yang tidak mengakui wujud Allah swt., seperti orang-orang ateis dan komunis. Kedua, mereka yang mengetahui kebenaran, tetapi menolaknya, antara lain, karena dengki kepada pembawa kebenaran itu. Kufur ketiga dalam arti tidak mensyukuri nikmat Allah swt., seperti, antara lain, yang diisyaratkan oleh firman-Nya, “Kalau kamu bersyukur pastilah Kutambah untuk kamu (nikmat-Ku) dan bila kamu kafir, maka sesungguhnya siksa-Ku pastilah amat pedih” (QS. Ibrâhîm [14]: 7). Kufur keempat adalah kufur dengan meninggalkan/tidak mengerjakan tuntunan agama kendati tetap percaya. Ini seperti firman-Nya, Apakah kamu percaya kepada sebagian al-kitâb dan kafir terhadap sebagian lainnya? (QS. al-Baqarah [2]: 85). Kufur kelima adalah kufur dalam arti tidak merestui dan berlepas diri, seperti firman-Nya, mengabadikan ucapan Nabi Ibrâhîm as. kepada kaumnya, “Kami telah kafir kepada kamu dan telah jelas antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4).

Kekufuran dapat terjadi antara lain karena pertama, ketidaktahuan atau pengingkaran terhadap wujud Allah swt./Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, melakukan satu tindakan, ucapan, atau perbuatan yang disepakati oleh ulama berdasarkan dalil-dalil yang pasti dari al-Qur’an dan Sunnah bahwa tindakan tersebut identik dengan kekufuran, seperti menginjakinjak al-Qur’an, sujud pada berhala, dan lain-lain. Sementara itu, ulama mendefinisikan kekufuran dengan “pelanggaran khusus terhadap kesucian Tuhan, akibat ketidaktahuan tentang Allah swt. dan sifat-sifat-Nya, atau akibat kedurhakaan kepada-Nya”.

[Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Kedudukan Wanita Menurut Ahlulbait

sumber: http://ejajufri.wordpress.com/2011/10/23/kedudukan-wanita-menurut-ahlulbait/
@ejajufri

Kedudukan Wanita Menurut Ahlulbait


Dalam acara Muthârahât fil Aqîdah di stasiun televisi Al-Kawthar, Ayatullah Kamal Al-Haidari mendapatkan pertanyaan tentang kedudukan wanita dalam Islam menurut mazhab ahlulbait. Beliau memberikan penjelasan yang—bagi saya—melampaui (beyond) dari apa yang selama ini biasa kita dengar. Selamat merenungkannya, semoga bermanfaat.
“Saya tidak bisa berbicara terlalu banyak tentang topik ini karena di luar dari tema acara. Pertama, kita harus membedakan antara hukum-hukum fikih dengan kedudukan wanita. Hukum-hukum fikih tidak menandakan keunggulan pria jika dibandingkan dengan wanita. Artinya bahwa hal tersebut tidak menandakan bahwa pria lebih utama dari pada wanita dalam hal kemuliaan, kesempurnaan, ketakwaan, dan seterusnya.

“Terbukti jelas dalam Alquran bahwa setiap kali membicarakan mengenai tingkat kedekatan kepada Allah, Alquran selalu menyebutkan min dzakarin aw untsa.
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang- orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan… (QS. 3: 195)
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. 4: 124)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik… (QS. 16: 97)
“Atau ayat yang menyebutkan sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Malam ini saya akan memberi contoh dan silakan renungkan dalam-dalam. Apakah taklif atau kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia dianggap sebagai kemuliaan atau perendahan?
“Ketika manusia diberikan kewajiban oleh Tuhan maka ia dianggap sebagai bentuk kehormatan dan hak istimewa bagi orang tersebut. Maka sesungguhnya wanita mendapatkan kemuliaan dan hak istimewa tersebut 6 (enam) tahun lebih dulu sebelum pria mendapatkannya.
“Seorang wanita, pada usia 9 tahun, telah mencapai tingkat intelektual (akal), pemahaman, penerimaan, di mana Tuhan mengajaknya berbicara, ‘Wahai orang-orang yang beriman…’ Apakah pria sudah mencapai tingkat tersebut? Belum. Pria harus menunggu 6 (enam) tahun sampai dia mencapai tingkatan tersebut sehingga barulah pria dapat dipanggil dengan sapaan, ‘Wahai orang-orang yang beriman.’
“Saudaraku, inilah logika ahlulbait, logika Alquran, logika Ali. Tidak seperti mereka yang… jika wanita mengemudi maka harus dicambuk sepuluh kali kemudian waliul amr (menurut istilah mereka) harus ikut campur dan seterusnya… Lihatlah perbedaan antara logika tersebut dengan logika ahlulbait.”

Ringkasan Fiqih Salat Lima Mazhab

Fikih sebagai cabang (furuk) dalam agama Islam merupakan bagian yang paling sering diperselisihkan, dan kebanyakan orang menganggapnya sebagai hal yang menarik dan penting (terkadang gerakan salat dianggap lebih penting daripada khusyuknya shalat). Halaman ini ditulis bukan untuk memperkeruh perselisihan antarmazhab juga bukan untuk meningkatkan fanatisme mazhab.

Justru halaman ini ditulis sebagai informasi agar kita mengenal “dunia lain” dalam Islam—jika kita hanya mengenal “dunia” dari mazhab kita sendiri. Saya berharap dengan mengenal saudara kita yang berbeda mazhab, tidak ada lagi prasangka dan permusuhan. Insya Allah.

Meskipun Ja’far Ash-Shadiq merupakan guru yang menghasilkan beberapa ulama besar, termasuk Abu Hanifah dan Malik bin Anas, namun penjelasan mengenai fikih salatnya akan ditempatkan diakhir. Diawal akan ditulis fikih salat empat mazhab Ahlussunah yang utama (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali) secara garis besar karena mayoritas masyarakat Indonesia (seharusnya) sudah mengetahuinya. Diakhir barulah diterangkan mengenai fikih salat mazhab Syiah Ja’fari (Imamiah) yang umumnya belum diketahui.

Imam Abu Hanifah (699-767 M) (Mazhab Hanafi)

Takbiratul ihram boleh dengan Allahu Akbar atau Allahu A’zham (Maha Agung) atau Allahu Ajall (Maha Mulia) dan yang sesuai dengan makna lainnya.
Al-Fatihah wajib pada 2 rakaat pertama, sedangkan rakaat 3 atau 4 boleh diganti dengan tasbih atau diam. Boleh tidak membaca basmalah karena bukan bagian dari surah. Qunut hanya ada pada shalat witir. Sedekap adalah sunnah bukan wajib di bawah pusar.
Saat rukuk disunnahkan membaca

سُبْحَانَ رَبي العَظِيْمِ

Saat sujud yang wajib menyentuh/menempel hanyalah dahi, sedangkan dua telapak tangan, dua lutut, ibu jari kaki hanyalah sunnah.
Lafaz tahiyyat:

التَحِياتُ لله وَالصلَوَاتُ وَالطَيِبَاتُ وَالسَلامُ, عَلَيْكَ اَيُهَا النَبِي وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُه, السَلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَالِحِيْنَ, اَشْهَدُ اَنْ لا الَهَ اِلا الله, وَاَشْهَدُ اَن مُحَمَدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ


Lafaz salam:

السَلامُ عَليْكُمْ وَ رَحْمَة الله


Imam Malik (712-795 M) (Mazhab Maliki)

Takbiratul ihram wajib dengan Allahu Akbar.
Al-Fatihah wajib setiap rakaat. Basmalah bukan termasuk bagian dari surah, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Qunut hanya ada pada shalat subuh. Disunnahkan untuk tidak sedekap.
Saat rukuk disunnahkan membaca

سُبْحَانَ رَبي العَظِيْمِ

Saat sujud yang wajib menyentuh/menempel hanyalah dahi, sedangkan dua telapak tangan, dua lutut, ibu jari kaki hanyalah sunnah.
Lafaz tahiyyat:

التَحِيَاتُ لله الزَاكِيَاتُ لله الطَيِبَاتُ لله الصَلَوَاتُ لله, السَلامُ عَلَيْكَ اَيُهَا النَبِي وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُه, السَلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَالِحِيْنَ, اَشْهَدُ اَنْ لا الَهَ اِلا الله وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَه, وَاَشْهَدُ اَن مُحَمَدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ


Lafaz salam:

السَلامُ عَليْكُمْ وَ رَحْمَة الله


Imam Syafi’i (769-820 M) (Mazhab Syafi’i)

Takbiratul ihram boleh Allahu Akbar atau Allahu Al-Akbar.
Al-Fatihah wajib pada setiap rakaat. Wajib membaca basmalah karena bagian dari surah. Qunut sunnah setelah rukuk pada shalat Subuh. Sedekap adalah sunnah di bawah dada di atas pusar.
Saat rukuk disunnahkan membaca

سُبْحَانَ رَبي العَظِيْمِ

Saat sujud yang wajib menyentuh/menempel hanyalah dahi, sedangkan dua telapak tangan, dua lutut, ibu jari kaki hanyalah sunnah.
Lafaz tahiyyat:

التَحِيَاتُ المُبَارَكَاتُ الصَلَوَاتُ الطَيِبَاتُ لله, السَلامُ عَلَيْكَ اَيُهَا النَبِي وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُه, السَلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَالِحِيْنَ, اَشْهَدُ اَنْ لا الَهَ اِلا الله, وَاَشْهَدُ اَن مُحَمَدًا رَسُوْلَ الله

Lafaz salam:

السَلامُ عَليْكُمْ وَ رَحْمَة الله



Imam Ahmad (780-855 M) (Mazhab Hanbali)

Takbiratul ihram wajib dengan Allahu Akbar.
Al-Fatihah wajib pada setiap rakaat. Basmalah bagian dari surah, tapi membacanya harus pelan. Qunut hanya ada pada shalat witir. Sedekap adalah sunnah di bawah pusar.
Saat rukuk diwajibkan membaca

سُبْحَانَ رَبي العَظِيْمِ

Saat sujud yang wajib menyentuh/menempel adalah dahi, dua telapak tangan, dua lutut, ibu jari kaki ditambah hidung.
Lafaz tahiyyat:

التحيات لله والصلوات والطيبات, السَلامُ عَلَيْكَ اَيُهَا النَبِي وَرَحْمَةُ الله وَبَرَكَاتُه, السَلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَالِحِيْنَ, اَشْهَدُ اَنْ لا الَهَ اِلا الله وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَه, وَاَشْهَدُ اَن مُحَمَدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, اللهُم صَلِ عَلَى مُحَمَد


Lafaz salam:

السَلامُ عَليْكُمْ وَ رَحْمَة الله


Imam Ja’far Ash-Shadiq (699-765 M) (Mazhab Syiah Ja’fari)

Takbiratul ihram wajib dengan Allahu Akbar.
Al-Fatihah wajib pada 2 rakaat pertama, sedangkan rakaat 3 atau 4 boleh diganti dengan tasbih subhanallâh wal hamdulillâh wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar. Basmalah bagian dari surah dan wajib dibaca dengan jahr (nyaring) pada setiap shalat. Qunut adalah sunnah pada setiap shalat. Empat mazhab Ahlus Sunnah menyatakan sunnah membaca âmin, sedangkan Syiah adalah tidak. Tidak bersedekap dalam shalat.
Saat rukuk disunnahkan membaca

سُبْحَانَ رَبي العَظِيْمِ وَبِحَمْدِه

atau

سُبْحَانَ الله

tiga kali ditambah salawat.
Saat sujud yang wajib menyentuh/menempel adalah dahi, dua telapak tangan, dua lutut, ibu jari kaki, hidung adalah sunnah.
Lafaz tahiyyat/tasyahud:

بسم الله وبالله والحمد لله وخير الأسماء لله اشهد لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وَاَشْهَدُ اَن مُحَمَدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, اللهم صل على محمد وآل محمد وتقبل شفعته ورفع درجته


Lafaz salam:

السَلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَالِحِيْنَ, السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Dari sekilas gambaran di atas, telah sepakat bahwa tiga mazhab Ahlus Sunnah (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) menyatakan bahwa sedekap dalam shalat hanyalah sunnah, bahkan satu mazhab Ahlus Sunnah (Maliki) menyatakan sunnah untuk tidak sedekap. Karena itu janganlah heran jika Syiah pun tidak bersedekap, karena mazhab Maliki sebagai Ahlus Sunnah pun tidak sedekap. Tema mengenai sedekap dalam shalat akan dilanjutkan lain waktu, Insya Allah. Wallâhua’lâm.

Sumber:
Syekh Jawad Al-Mughniyah
Al-Fiqh ‘alâ Al-Madzâhib Al-Khamsah


Karbala dalam Kitab Ahlusunah

sumber: http://ejajufri.wordpress.com/2011/11/26/karbala-dalam-kitab-ahlusunah/
@ejajufri

Karbala dalam Kitab Ahlusunah

Oleh: Ayatullah Kamal Al-Haydari

Alasan pertama saya menghadirkan tema ini sebenarnya sederhana. Ketika kita mempelajari Dinasti Umayyah secara keseluruhan dan melihat ciri-cirinya, kita akan menemukan usaha mereka untuk melemahkan dan mengecilkan nilai dan tragedi yang terjadi di Karbala. Lebih khusus lagi, mereka tidak memberikan perhatian terhadap pentingnya darah di Karbala yang merupakan bagian dari cucu dari Nabi Muhammad saw.

Karenanya mereka mencoba untuk merendahkan daerah Karbala, tanah Karbala, tempat syahidnya Imam Husain a.s. dan membuat orang percaya bahwa semua hal itu tidak terlalu bernilai sebagaimana penilaian pengikut mazhab ahlulbait as. Lebih dari itu, mereka mencoba menjelaskan hal lain yang lebih penting. Seperti apa? Mereka lebih mengutamakan darah Umar bin Saad, si pembunuh Imam Husain, dengan mengatakan bahwa kematiannya lebih penting daripada kematian Imam Husain a.s.

Mungkin hal ini terkesan aneh, tapi akan kita bacakan sumber teks dari sudut pandang [pendukung] Umayyah yang akan menjelaskan realita tersebut. Fakta yang ingin kami bahas adalah usaha mereka untuk benar-benar mengecilkan nilai pergerakan dan revolusi Al-Husain tidak hanya pada masanya tapi hingga saat ini. Para pemirsa bisa menyaksikan saluran-saluran televisi (Wahabi) yang memiliki hubungan dengan Umayyah dan bisa melihat bahwa mereka memusatkan (kritik) pada slogan, darah Al-Husain, turbah Karbala dan menangisi Al-Husain serta penyalahgunaan turbah.

Hubungan tema kita kali ini dan tema pengaruh Umayyah dalam Islam adalah kenyataan bahwa masalah Al-Husain bukanlah sesuatu yang Syiah ciptakan. Bukanlah hal yang mazhab dan Syiah ahlulbait mulai dan buat-buat. Masalah Al-Husain, darah dan tanahnya, dinilai penting oleh wahyu Ilahi. Sebuah masalah yang penutup para nabi saw. berikan perhatian dan beliau tangisi. Saat ini saya tidak sedang ingin membahas apa yang pemimpin ahlulbait katakan tentang tanah Karbala dan darah Imam Husain, tapi lebih kepada apa yang nabi saw. dan Imam Ali bin Abi Thalib katakan tentang tanah Karbala dan Imam Husain.

Saya ingin perjelas bahwa ketika saya mengatakan tanah Karbala bukanlah potongan yang dibuat untuk sujud (turbah) namun seluruh tanah/daerah Karbala. Yakni bermakna bahasa bukan istilah. Tapi ini hal lain yang mungkin kita bahas lain waktu. Saya juga ingin memperjelas mengapa kita membahas masalah ini adalah karena nabi juga memberikan perhatian penting. Kami menganggap tanah tersebut suci dan diberkahi karena nabi memberikan nilai luar biasa dan perhatian khusus pada tanah tersebut yang tidak beliau berikan pada darah atau tanah orang lain.

Lalu bagaimana usaha Umayyah untuk mengecilkan nilai dan pentingnya hal ini? Kita bisa melihat apa yang Syekh Ibnu Taimiah katakan—mereka menggelarinya Syekhul Islam dan menyebutnya sebagai pencinta Ali dan ahlulbait—dalam Minhâj As-Sunnah An-Nabawiah jil. 3 yang ditahkik Dr. Muhammad Rasyad Salim, cet. 2 tahun 1999 M. Perhatikan apa yang dia katakan di hal. 70 kitab ini agar menjadi jelas bagi seluruh kaum muslimin dan pengikut Ibnu Taimiah yang yakin bahwa beliau mencintai ahlulbait dan keluarga Imam Husain, cucu nabi, pemimpin pemuda surga:

    “Sudah maklum bahwa Umar bin Saad adalah pemimpin as-sariyyah (detasemen)…”

Lihatlah bagaimana dia merendahkan masalah ini. Jadi, orang yang membunuh Imam Husain hanyalah sariyyah? Seratus atau dua ratus orang? Bukan tentara lengkap (jaisy) yang diutus Ibnu Ziad atas perintah Yazid untuk memerangi dan membunuh Husain?

    “Bahwa Umar bin Saad adalah pemimpin sariyyah yang membunuh Husain…”

Dia mengakui bahwa Umar adalah pembunuh Husain.

    “…meskipun dia (Umar) berbuat zalim…”

Syekh mengakui bahwa Umar telah berbuat zalim, tidak lebih dari itu.

    “…dan pengutamaannya terhadap dunia di atas agama, namun dosanya tidaklah seburuk yang dilakukan Mukhtar bin Abi Ubaid yang menunjukkan kemenangan demi Husain dan membunuh pembunuhnya.”

Artinya, maksiat atau dosa Mukhtar lebih buruk di mata Tuhan dibandingkan dosa pembunuh Husain. Ini juga berarti bahwa darah Umar bin Saad lebih penting, lebih agung, dan lebih mulia jika dibandingkan dengan darah Imam Husain menurut Ibnu Taimiah.

Hal inilah yang saya ingin para pemirsa perhatikan. Saya menyampaikan ini dengan rasa kasihan dan sedih. Saya tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakan. Mungkinkah kebencian (nashb) terhadap ahlulbait lebih buruk daripada kebencian terhadap Umar bin Saad? Apa makna nashb? Apakah ada bentuk nashb yang lebih buruk daripada membunuh? Adakah yang lebih buruk dari apa yang dia lakukan terhadap Husain dan keluarganya?

Seseorang bisa saja membebaskan Yazid dari segala (tuduhan) kejahatan dengan mengatakan bahwa dia tidak di sana, dia tidak memerintahkan hal tersebut terjadi, kita bisa membahasnya lain waktu, meski sudah jelas itu kebohongan dan Yazid memerintahkannya.

Hal tersebut juga berarti bahwa dosa Mukhtar yang membunuh pembunuh Husain lebih besar jika dibandingkan dengan dosa orang yang membunuh Husain. Hal ini juga berarti dosanya lebih besar dibandingkan orang yang membunuh ahlulbait dan sahabat nabi, karena beliau dianggap sebagai salah satu sahabat nabi yang mulia. Inilah logika yang membela Ibnu Taimiah dan ideologi yang mengatakan kami mencintai Yazid, Muawiyah, dan dinasti Umayyah dan mereka sahabat rasul. Inilah logika yang sama sampai hari ini. Bagaimana mereka menunjukkannya? Mereka mengatakan “Ini perbuatan bidah dan nabi tidak pernah melakukannya!” Sekarang, mereka sendiri yang melakukannya.

    “Maka pengikut Syiah ini (Mukhtar) lebih buruk daripada nâshibî itu (Umar).”

Perhatikan bagaimana Ibnu Taimiah tahu bahwa Umar bin Saad adalah seorang nasibi tetapi tetap dibelanya. Jika dia nasibi maka dia seorang munafik dan berada di neraka terdalam. Pada saat yang sama dikatakan bahwa seorang Syiah lebih buruk dari seorang munafik. Saat ini kita sama sekali tidak sedang membicarakan Syiah dan munafik, tetapi ideologi (manhaj) dari orang yang mengatakan hal tersebut. Ideologi yang mengatakan bahwa nâshibî (orang yang dasar agamanya membenci Ali dan membela Muawiyah) lebih baik dari orang yang mencintai Ali dan membenci Muawiyah. Padahal nabi mengatakan “Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan tolonglah orang yang menolong Ali”, “Mencintainya adalah bagian dari iman, membencinya adalah kemunafikan.” (HR. Muslim)

Pertanyaan selanjutnya, apakah pembunuh Husain lebih rendah dari pembunuh Umar bin Saad? Apakah darah Umar bin Saad lebih mulia dan lebih agung daripada darah Imam Husain? Inilah yang menjadi pembahasan kita berikutnya, insya Allah. Agar kita bisa melihat apa yang dikatakan ulama madrasah sahabat (ahlusunah) dan ulama Islam tentang darah Husain dan tanah tempat darah Husain tertumpah.


Bagaimana Allah Swt. dan rasul-Nya menggambarkan Karbala dalam hadis sahih?

Apakah darah Imam Husain sama dengan darah cucu nabi lainnya, atau darah keluarga, sahabat, dan muslim lainnya? Apakah nabi menyamakan darah Husain dengan darah yang lain? Hal ini juga menjadi pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan, bagaimana nabi—atau lebih jelasnya Allah Swt.—memberikan perhatian penting terhadap dua hal: darah dan tanah Imam Husain.

Ada begitu banyak riwayat dari berbagai sumber kitab tentang hal ini. Namun saya hanya akan fokus pada yang paling penting dari ulama besar madrasah sahabat. Sumber pertama adalah Fadhâil Ash-Shahâbah karya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang ditahkik oleh Washiulllah bin Muhammad Abbas, Profesor Universitas Ummul Qura Mekkah, jilid 2, edisi 3 yang diterbitkan Dar Ibnul Jauzi tahun 1426 H. Di halaman 965 hadis 1357:

    Dari Aisyah atau Ummu Salamah, Waki syak nabi berkata kepada salah satu di antara mereka berdua: “Suatu hari, malaikat yang tidak pernah mengunjungiku sebelumnya datang ke rumah, dan berkata kepadaku: ‘Husain putramu ini akan dibunuh. Jika engkau berkenan, aku akan berikan sedikit tanah dari tempatnya dibunuh.’ Nabi berkata: ‘Malaikat itu kemudian memberikan tanah (berwarna) merah kepadaku.”

Saya tidak akan menjelaskan mengapa tanah Karbala itu menjadi merah. Apa yang spesial dari Imam Husain sehingga kematiannya membuat tanah menjadi merah? Saya tidak akan menafsirkannya. Saya hanya memberikan teks riwayat, agar pemirsa tidak menuduh kami karena membuat-buat penafsiran. Lihatlah apa yang ditulis dalam catatan kaki riwayat tersebut:

“Sanadnya sahih. Beliau juga menuliskan riwayat ini dalam Musnad-nya dan juga Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawâid. Ath-Thabarani juga membawakan hadis ini dari Aisyah, dan seluruh periwayatnya terpercaya (tsiqât).”

Sumber kedua dalam Musnad Abî Ya’lâ Al-Maushîlî karya Imam Hafiz Ahmad bin Ali At-Tamimi, ditahkik oleh Husain Salim Asad, jil. 1, hal. 298, hadis 363:

    Dari Abdullah bin Naji dari ayahnya, dia bepergian bersama Ali. Mereka tiba di Nainawa, dan dia hendak menuju Shiffin [untuk perang melawan Muawiyah]. Maka Ali berseru: “Bersabarlah, wahai Abu Abdillah! Bersabarlah Abu Abdillah di tepi sungai Eufrat!” Saya berkata, “Apa maksud ‘Wahai Abu Abdillah’?” Dia (Ali) berkata, “Suatu hari saya menemui nabi dan matanya tak henti-henti menangis (tafîdhân).”

Perhatikan bahwa nabi bukan hanya menangis biasa (bukâ’) tapi terus-menerus.

    Dia (Ali) berkata, “Wahai nabi Allah, apakah seseorang membuatmu marah? Apa yang membuat matamu terus-menerus menangis?” Jawabnya, “Tidak. Jibril baru saja pergi. Dia memberitahuku bahwa Husain akan dibunuh di tepi sungai Eufrat.”

Allah Mahatahu dan nabi diberi tahu bahwa Imam Husain akan dibunuh dekat sungai Eufrat tetapi syahid dalam keadaan haus tanpa air.

     Jibril berkata, “Maukah engkau mencium bagian dari tanah tersebut?”

Apa yang spesial dari tanah ini sehingga makhluk pertama yang membawanya adalah Jibril? Jibril tidak hanya menunjukkannya tapi diberikan kepada nabi untuk dicium? Mengapa? Sekali lagi, saya tidak mencoba untuk menjelaskannya. Tentu saja hal ini berhubungan dengan alam gaib dan malakut. Jika tidak bagaimana mungkin tanah tersebut bisa menjadi merah?

    Nabi Menjawab: “Ya.” Maka ia melebarkan tangannya yang penuh dengan tanah dan aku mengambilnya. Kemudian aku tidak bisa menahan mata ini untuk menangis.

Apakah maknanya jelas? Pentahkik kitab mengatakan, “Sanadnya hasan. Al-Haitsami mencantumkan riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawâid. Begitu juga Ahmad, Abu Ya’la, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani dan periwayatnya tsiqât.” Penjelas kitab ini juga mengatakan bahwa Nainawa adalah desa Nabi Yunus di Mosul, Irak, dan di sana jugalah Karbala tempat dibunuhnya Al-Husain.

Sumber ketiga memiliki makna yang sama. Dari Musnad Abî Ya’lâ, jil. 6, hal. 129, hadis 3.402:

    Dari Anas bin Malik, “Malaikat hujan memohon izin dari Allah untuk mengunjungi nabi saw. lalu diizinkan.”

Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan: apakah peristiwa ini terjadi hanya sekali atau berkali-kali dengan malaikat yang berbeda? Sekali dengan Jibril, sekali dengan malaikat yang belum pernah dijumpai sebelumnya, sekali dengan malaikat hujan. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak hanya terjadi sekali, sehingga para malaikat kepercayaan Ilahi sangat menekankan hal ini. Dalam riwayat ini ada nama Imarah bin Za-dzan yang perlu saya sebutkan nantinya.

    Pada hari tersebut beliau bersama Ummu Salamah. Nabi berkata, “Wahai Ummu Salamah, jagalah pintu dan jangan biarkan seorangpun masuk.” Ketika dia (Ummu Salamah) dekat pintu, Husain bin Ali membuka pintu dan masuk ke ruangan. Kemudian nabi saw. mulai memeluk dan menciumnya. Malaikat bertanya “Apakah engkau mencintainya?” Dijawab, “Ya” Malaikat berkata: “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Jika engkau berkenan, aku akan menunjukkan tempat di mana mereka membunuhnya.”

Ada banyak hal tentang hadis ini. Syahidnya Imam Husain tidak berhubungan dengan detasemen sariyyah sebagaimana yang dikatakan Syekh Ibnu Taimiah, tapi riwayat ini menyebutkan “umat”. Mereka [pendukung Dinasti Umayyah] berusaha menganggap ringan masalah ini.

    Nabi menjawab, “Ya.” Maka ia mengambil segenggam tanah dari tempat dia terbunuh dan menunjukkannya dalam bentuk sahlah atau tanah merah. Maka Ummu Salamah mengambil dan menyimpan di bajunya.

Apa yang Ummu Salamah lakukan? Menjaga tanah tersebut. Tapi saya heran jika seorang Syiah mengambil sedikit tanah Karbala kemudian menjaga dan menyimpannya, dikatakan: “Ini syirik! Ini bidah!” Inilah perkataan jahil karena ummulmukminin sendiri melakukannya. Tapi mereka tetap mengatakan, “Tak ada seorang pun di masa nabi baik laki-laki maupun wanita yang melakukannya.” Istri nabi melakukannya di depan Rasulullah!

    Tsabit berkata, “Kami mengatakan ia berasal dari Karbala.”

Pentahkik mengatakan dalam catatan kaki kedua bahwa sanadnya hasan. Ahmad dan Abu Naim dalam Dalâil An-Nubuwwah juga meriwayatkannya… Jemaah atau sekelompok ulama mengatakan Imarah terpercaya. Menurut petahkik pada dirinya ada kelemahan, namun periwayat dalam Abi Ya’la seluruhnya sahih.

Sumber penting lain adalah Shahîh Al-Jâmi’ Ash-Saghîr karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, jil.1, hal. 73, hadis 61:

    Beliau saw. berkata, “Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa umatku akan membunuh putraku ini—yakni Husain—dan membawakanku sedikit tanah merah.”

Siapa yang datang? Jibril sang malaikat wahyu; yang tidak datang untuk masalah biasa-biasa; yang datang hanya dalam keadaan penting.

Albani menyatakan bahwa hadis ini sahih. Hadis ini juga terdapat dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah, jil.2, hadis 821. Hakim dan Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini dari Ummul Fadhl binti Al-Harits.

    Dia menemui Rasullah saw. dan berkata, “Wahai rasulullah, tadi malam saya mendapat mimpi yang kurang jelas.” Nabi berkata, “Apa itu?” Dia berkata, “Sangat sedih”. Nabi berkata “Apa itu?” Dia berkata: “Saya melihat seolah-olah bagian dari tubuhmu terpotong dan diletakkan didadaku.” Nabi berkata “Engkau melihat hal baik. Insya Allah Fatimah akan melahirkan bayi laki-laki dan diletakkan di dadamu.” Maka Fatimah melahirkan Husain dan dia ada di dadaku seperti yang pernah Rasulullah katakan kepadaku. Maka suatu hari aku menemui Rasulullah dan meletakkan Husain di dadanya. Kemudian nabi memalingkan wajahnya ke samping dan saya melihat air mata nabi berlinang. Saya bertanya, “Wahai nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa yang terjadi?”

Maka nabi menyebut hadis (tentang tanah berwarna merah) tersebut di atas. Hadis ini sahih berdasarkan syarat syaikhain (Bukhari dan Muslim). Tapi Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis ini lemah, maka Albani menolak pernyataan Adz-Dzahabi dan membela Hakim dengan mengatakan: “Ada banyak bukti yang menunjukkan otensitasnya… di antaranya hadis yang diriwayat Ahmad tersebut di atas,” tentang malaikat yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Sumber lain yang juga perlu diperhatikan adalah Silsilah Al-Ahâdîts karya Albani jilid 3 pada catatan kaki hadis 1.171 tentang Imam Ali yang berseru “Sabarlah, wahai Abu Abdillah” sebagaimana yang sudah kami sebutkan sebelumnya. Albani mengatakan bahwa hadis tersebut sanadnya lemah. Dia mengatakan, “Naji ayah Abdullah tidak dikenal, sebagaimana yang dikatakan Adz-Dzahabi, dan tidak ada yang mempercayainya kecuali Ibnu Hibban. Anaknya lebih masyhur dibandingkan ayahnya, sehingga jika ada yang mensahihkan sanad ini, maka dia berbuat kesalahan.”

Setelah membahas kelemahan sanad tersebut, dia melanjutkan, “Al-Haitsami berkata bahwa Ahmad, Abu Ya’la, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani meriwayatkan dan periwayatnya tsiqât.” Bagaimana bisa riwayat tersebut lemah? Karena Naji bukanlah satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Karena itu Albani menyebutkan beberapa hadis lain melalui 4-5 jalur yang berbeda untuk memperkuat hadis tersebut. Satu atau dua orang periwayat mungkin saja lemah namun tidak mempengaruhi otensitas hadis secara keseluruhan.

Kita juga menemukan hadis serupa namun sedikit berbeda dalam Shahîh Ibnu Hibbân, jil. 5, hal. 142, hadis 6.742:

    Dari Anas bin Malik, “Malaikat hujan memohon izin dari Allah untuk mengunjungi nabi saw. lalu diizinkan.” Pada hari tersebut beliau bersama Ummu Salamah. Nabi berkata, “Wahai Ummu Salamah, jagalah pintu dan jangan biarkan seorang pun masuk.” Ketika dia (Ummu Salamah) dekat pintu, Husain bin Ali tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke ruangan lalu duduk di punggung nabi.

Namun di Karbala, mereka menginjak-injak punggung Imam Husain yang diberkahi dengan kaki-kaki kuda.

    Kemudian nabi saw. mulai memeluk dan menciumnya.

Mulut inilah yang biasa dicium Nabi Muhammad saw. Tapi Yazid justru memainkan mulut suci ini dengan tongkatnya. Saya akan memperjelas nantinya bagaimana “Syekhul Islam” Ibnu Taimiah mencoba untuk membebaskan Yazid dari kejahatannya. Dia berkata Ibnu Ziad yang melakukannya dan kepala Imam Husain tidak sampai kepada Yazid. Kita sendiri sudah melihat bagaimana Ibnu Taimiah menilai kesyahidan dan darah Imam Husain. Kita juga membandingkan bagaimana wahyu Ilahi memperlakukan kesyahidan Imam Husain. Kita melihat bagaimana nabi saw. memperlakukan mulut Imam Husain dan bagaimana Yazid, yang dibela oleh Ibnu Taimiah, memperlakukannya.

    Malaikat bertanya “Apakah engkau mencintainya?” Dijawab, “Ya.” Malaikat berkata: “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Jika engkau berkenan, aku akan menunjukkan tempat di mana mereka membunuhnya?” Nabi menjawab, “Ya.” Maka ia mengambil segenggam tanah dari tempat dia terbunuh dan menunjukkannya dalam bentuk sahlah atau tanah merah. Maka Ummu Salamah mengambil dan menyimpan di bajunya.

Kemudian, apakah hadis ini mutawatir? Ada riwayat yang disampaikan dari Ali bin Abi Thalib melalui berbagai jalur, ada yang berasal dari Anas bin Malik, Ummu Salamah dan Aisyah dari berbagai jalur berbeda dan terpercaya, begitu juga dari Ibnu Abbas dan Ummul Fadhl. Ibnu Hazm berkata jika ada lima sahabat terpercaya menyampaikan hadis maka ia menjadi hadis mutawatir.

Apa makna mutawatir? Ia kepastian mutlak berdasarkan syarat madrasah sahabat (ahlusunah) bahwa riwayat tersebut—baik ucapan, perbuatan, dan persetujuan—benar-benar berasal dari nabi saw. Hal yang sudah jelas bagi madrasah ahlulbait dan tidak ada keraguan di dalamnya. Tidak ada topik penting terkait akidah dan fakta sejarah yang fundamental menurut madrasah ahlulbait, kecuali terdapat dengan jelas dan sahih dalam sumber-sumber ahlusunah.

Apa yang Syiah ahlulbait katakan tentang kesyahidan Imam Husain, tanah dan darahnya, bukanlah hal bidah yang dibuat-buat, apalagi berasal dari Abdullah bin Saba, orang Persia, atau Yahudi. Tetapi inilah yang Nabi Muhammad saw. katakan kepada kita semua.

Saya akan mengakhiri kesempatan kali ini dengan mengutipkan sebuah riwayat dari kitab Bukhari:

    Dari Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan bahwa ada serombongan orang (sahabat) yang berpergian bersama Rasulullah saw. kemudian singgah di Al-Hijr, negeri Tsamud, lalu mereka mengambil air dari sumurnya dan membuat adonan roti, maka Rasulullah saw. memerintahkan mereka agar menumpahkan air yang diambil dari sumurnya dan agar adonan roti dijadikan makanan buat unta dan memerintahkan mereka agar mengambil air dari sumur-sumur yang dilalui oleh unta.

Apa yang ingin Rasulullah sampaikan? Di sini ada air, di sana ada air… apa bedanya? Ketika unta Nabi Saleh, sebagai tanda kebesaran Allah, minum dari sumur tersebut maka ia memberikan keberkahan meskipun sudah terjadi 3.000 tahun yang lalu! Lalu, bagaimana dengan tanah Karbala yang menyerap darah Pemimpin Pemuda Surga? Apakah kita tidak bisa mengambil keberkahan dari tanah tersebut sampai hari kiamat? Wallahualam.

Catatan: Disarikan dari acara Muthârahât fil Aqîdah. Diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris oleh wais910. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ali Reza yang dilengkapi dengan tautan untuk mengunduh kitab. Letak hadis bisa berbeda dari yang disebutkan oleh Sayid Kamal Al-Haydari. Sariyyah adalah angkatan perang yang jumlahnya antara 100-500 orang, sedangkan jaisy angkatan perang yang jumlahnya di atas 800 orang. Maaf atas segala khilaf jika terjadi kekeliruan penerjemahan.

Subscribe

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner