sumber: http://ejajufri.wordpress.com/2011/11/26/karbala-dalam-kitab-ahlusunah/
@ejajufri
Karbala dalam Kitab Ahlusunah
Oleh: Ayatullah Kamal Al-Haydari
Alasan
pertama saya menghadirkan tema ini sebenarnya sederhana. Ketika kita
mempelajari Dinasti Umayyah secara keseluruhan dan melihat ciri-cirinya,
kita akan menemukan usaha mereka untuk melemahkan dan mengecilkan nilai
dan tragedi yang terjadi di Karbala. Lebih khusus lagi, mereka tidak
memberikan perhatian terhadap pentingnya darah di Karbala yang merupakan
bagian dari cucu dari Nabi Muhammad saw.
Karenanya
mereka mencoba untuk merendahkan daerah Karbala, tanah Karbala, tempat
syahidnya Imam Husain a.s. dan membuat orang percaya bahwa semua hal itu
tidak terlalu bernilai sebagaimana penilaian pengikut mazhab ahlulbait
as. Lebih dari itu, mereka mencoba menjelaskan hal lain yang lebih
penting. Seperti apa? Mereka lebih mengutamakan darah Umar bin Saad, si
pembunuh Imam Husain, dengan mengatakan bahwa kematiannya lebih penting
daripada kematian Imam Husain a.s.
Mungkin hal ini
terkesan aneh, tapi akan kita bacakan sumber teks dari sudut pandang
[pendukung] Umayyah yang akan menjelaskan realita tersebut. Fakta yang
ingin kami bahas adalah usaha mereka untuk benar-benar mengecilkan nilai
pergerakan dan revolusi Al-Husain tidak hanya pada masanya tapi hingga
saat ini. Para pemirsa bisa menyaksikan saluran-saluran televisi
(Wahabi) yang memiliki hubungan dengan Umayyah dan bisa melihat bahwa
mereka memusatkan (kritik) pada slogan, darah Al-Husain, turbah Karbala
dan menangisi Al-Husain serta penyalahgunaan turbah.
Hubungan
tema kita kali ini dan tema pengaruh Umayyah dalam Islam adalah
kenyataan bahwa masalah Al-Husain bukanlah sesuatu yang Syiah ciptakan.
Bukanlah hal yang mazhab dan Syiah ahlulbait mulai dan buat-buat.
Masalah Al-Husain, darah dan tanahnya, dinilai penting oleh wahyu Ilahi.
Sebuah masalah yang penutup para nabi saw. berikan perhatian dan beliau
tangisi. Saat ini saya tidak sedang ingin membahas apa yang pemimpin
ahlulbait katakan tentang tanah Karbala dan darah Imam Husain, tapi
lebih kepada apa yang nabi saw. dan Imam Ali bin Abi Thalib katakan
tentang tanah Karbala dan Imam Husain.
Saya ingin
perjelas bahwa ketika saya mengatakan tanah Karbala bukanlah potongan
yang dibuat untuk sujud (turbah) namun seluruh tanah/daerah Karbala.
Yakni bermakna bahasa bukan istilah. Tapi ini hal lain yang mungkin kita
bahas lain waktu. Saya juga ingin memperjelas mengapa kita membahas
masalah ini adalah karena nabi juga memberikan perhatian penting. Kami
menganggap tanah tersebut suci dan diberkahi karena nabi memberikan
nilai luar biasa dan perhatian khusus pada tanah tersebut yang tidak
beliau berikan pada darah atau tanah orang lain.
Lalu
bagaimana usaha Umayyah untuk mengecilkan nilai dan pentingnya hal ini?
Kita bisa melihat apa yang Syekh Ibnu Taimiah katakan—mereka
menggelarinya Syekhul Islam dan menyebutnya sebagai pencinta Ali dan
ahlulbait—dalam Minhâj As-Sunnah An-Nabawiah jil. 3 yang ditahkik Dr.
Muhammad Rasyad Salim, cet. 2 tahun 1999 M. Perhatikan apa yang dia
katakan di hal. 70 kitab ini agar menjadi jelas bagi seluruh kaum
muslimin dan pengikut Ibnu Taimiah yang yakin bahwa beliau mencintai
ahlulbait dan keluarga Imam Husain, cucu nabi, pemimpin pemuda surga:
“Sudah maklum bahwa Umar bin Saad adalah pemimpin as-sariyyah (detasemen)…”
Lihatlah
bagaimana dia merendahkan masalah ini. Jadi, orang yang membunuh Imam
Husain hanyalah sariyyah? Seratus atau dua ratus orang? Bukan tentara
lengkap (jaisy) yang diutus Ibnu Ziad atas perintah Yazid untuk
memerangi dan membunuh Husain?
“Bahwa Umar bin Saad adalah pemimpin sariyyah yang membunuh Husain…”
Dia mengakui bahwa Umar adalah pembunuh Husain.
“…meskipun dia (Umar) berbuat zalim…”
Syekh mengakui bahwa Umar telah berbuat zalim, tidak lebih dari itu.
“…dan pengutamaannya terhadap dunia di atas agama, namun dosanya
tidaklah seburuk yang dilakukan Mukhtar bin Abi Ubaid yang menunjukkan
kemenangan demi Husain dan membunuh pembunuhnya.”
Artinya,
maksiat atau dosa Mukhtar lebih buruk di mata Tuhan dibandingkan dosa
pembunuh Husain. Ini juga berarti bahwa darah Umar bin Saad lebih
penting, lebih agung, dan lebih mulia jika dibandingkan dengan darah
Imam Husain menurut Ibnu Taimiah.
Hal inilah yang saya
ingin para pemirsa perhatikan. Saya menyampaikan ini dengan rasa kasihan
dan sedih. Saya tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakan. Mungkinkah
kebencian (nashb) terhadap ahlulbait lebih buruk daripada kebencian
terhadap Umar bin Saad? Apa makna nashb? Apakah ada bentuk nashb yang
lebih buruk daripada membunuh? Adakah yang lebih buruk dari apa yang dia
lakukan terhadap Husain dan keluarganya?
Seseorang
bisa saja membebaskan Yazid dari segala (tuduhan) kejahatan dengan
mengatakan bahwa dia tidak di sana, dia tidak memerintahkan hal tersebut
terjadi, kita bisa membahasnya lain waktu, meski sudah jelas itu
kebohongan dan Yazid memerintahkannya.
Hal tersebut
juga berarti bahwa dosa Mukhtar yang membunuh pembunuh Husain lebih
besar jika dibandingkan dengan dosa orang yang membunuh Husain. Hal ini
juga berarti dosanya lebih besar dibandingkan orang yang membunuh
ahlulbait dan sahabat nabi, karena beliau dianggap sebagai salah satu
sahabat nabi yang mulia. Inilah logika yang membela Ibnu Taimiah dan
ideologi yang mengatakan kami mencintai Yazid, Muawiyah, dan dinasti
Umayyah dan mereka sahabat rasul. Inilah logika yang sama sampai hari
ini. Bagaimana mereka menunjukkannya? Mereka mengatakan “Ini perbuatan
bidah dan nabi tidak pernah melakukannya!” Sekarang, mereka sendiri yang
melakukannya.
“Maka pengikut Syiah ini (Mukhtar) lebih buruk daripada nâshibî itu (Umar).”
Perhatikan
bagaimana Ibnu Taimiah tahu bahwa Umar bin Saad adalah seorang nasibi
tetapi tetap dibelanya. Jika dia nasibi maka dia seorang munafik dan
berada di neraka terdalam. Pada saat yang sama dikatakan bahwa seorang
Syiah lebih buruk dari seorang munafik. Saat ini kita sama sekali tidak
sedang membicarakan Syiah dan munafik, tetapi ideologi (manhaj) dari
orang yang mengatakan hal tersebut. Ideologi yang mengatakan bahwa
nâshibî (orang yang dasar agamanya membenci Ali dan membela Muawiyah)
lebih baik dari orang yang mencintai Ali dan membenci Muawiyah. Padahal
nabi mengatakan “Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan
tolonglah orang yang menolong Ali”, “Mencintainya adalah bagian dari
iman, membencinya adalah kemunafikan.” (HR. Muslim)
Pertanyaan
selanjutnya, apakah pembunuh Husain lebih rendah dari pembunuh Umar bin
Saad? Apakah darah Umar bin Saad lebih mulia dan lebih agung daripada
darah Imam Husain? Inilah yang menjadi pembahasan kita berikutnya, insya
Allah. Agar kita bisa melihat apa yang dikatakan ulama madrasah sahabat
(ahlusunah) dan ulama Islam tentang darah Husain dan tanah tempat darah
Husain tertumpah.
Bagaimana Allah Swt. dan rasul-Nya menggambarkan Karbala dalam hadis sahih?
Apakah
darah Imam Husain sama dengan darah cucu nabi lainnya, atau darah
keluarga, sahabat, dan muslim lainnya? Apakah nabi menyamakan darah
Husain dengan darah yang lain? Hal ini juga menjadi pertanyaan mendasar
yang perlu diperhatikan, bagaimana nabi—atau lebih jelasnya Allah
Swt.—memberikan perhatian penting terhadap dua hal: darah dan tanah Imam
Husain.
Ada begitu banyak riwayat dari berbagai sumber
kitab tentang hal ini. Namun saya hanya akan fokus pada yang paling
penting dari ulama besar madrasah sahabat. Sumber pertama adalah Fadhâil
Ash-Shahâbah karya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang ditahkik oleh
Washiulllah bin Muhammad Abbas, Profesor Universitas Ummul Qura Mekkah,
jilid 2, edisi 3 yang diterbitkan Dar Ibnul Jauzi tahun 1426 H. Di
halaman 965 hadis 1357:
Dari Aisyah atau Ummu
Salamah, Waki syak nabi berkata kepada salah satu di antara mereka
berdua: “Suatu hari, malaikat yang tidak pernah mengunjungiku sebelumnya
datang ke rumah, dan berkata kepadaku: ‘Husain putramu ini akan
dibunuh. Jika engkau berkenan, aku akan berikan sedikit tanah dari
tempatnya dibunuh.’ Nabi berkata: ‘Malaikat itu kemudian memberikan
tanah (berwarna) merah kepadaku.”
Saya tidak akan
menjelaskan mengapa tanah Karbala itu menjadi merah. Apa yang spesial
dari Imam Husain sehingga kematiannya membuat tanah menjadi merah? Saya
tidak akan menafsirkannya. Saya hanya memberikan teks riwayat, agar
pemirsa tidak menuduh kami karena membuat-buat penafsiran. Lihatlah apa
yang ditulis dalam catatan kaki riwayat tersebut:
“Sanadnya
sahih. Beliau juga menuliskan riwayat ini dalam Musnad-nya dan juga
Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawâid. Ath-Thabarani juga membawakan hadis
ini dari Aisyah, dan seluruh periwayatnya terpercaya (tsiqât).”
Sumber
kedua dalam Musnad Abî Ya’lâ Al-Maushîlî karya Imam Hafiz Ahmad bin Ali
At-Tamimi, ditahkik oleh Husain Salim Asad, jil. 1, hal. 298, hadis
363:
Dari Abdullah bin Naji dari ayahnya, dia
bepergian bersama Ali. Mereka tiba di Nainawa, dan dia hendak menuju
Shiffin [untuk perang melawan Muawiyah]. Maka Ali berseru: “Bersabarlah,
wahai Abu Abdillah! Bersabarlah Abu Abdillah di tepi sungai Eufrat!”
Saya berkata, “Apa maksud ‘Wahai Abu Abdillah’?” Dia (Ali) berkata,
“Suatu hari saya menemui nabi dan matanya tak henti-henti menangis
(tafîdhân).”
Perhatikan bahwa nabi bukan hanya menangis biasa (bukâ’) tapi terus-menerus.
Dia (Ali) berkata, “Wahai nabi Allah, apakah seseorang membuatmu marah?
Apa yang membuat matamu terus-menerus menangis?” Jawabnya, “Tidak.
Jibril baru saja pergi. Dia memberitahuku bahwa Husain akan dibunuh di
tepi sungai Eufrat.”
Allah Mahatahu dan nabi diberi
tahu bahwa Imam Husain akan dibunuh dekat sungai Eufrat tetapi syahid
dalam keadaan haus tanpa air.
Jibril berkata, “Maukah engkau mencium bagian dari tanah tersebut?”
Apa
yang spesial dari tanah ini sehingga makhluk pertama yang membawanya
adalah Jibril? Jibril tidak hanya menunjukkannya tapi diberikan kepada
nabi untuk dicium? Mengapa? Sekali lagi, saya tidak mencoba untuk
menjelaskannya. Tentu saja hal ini berhubungan dengan alam gaib dan
malakut. Jika tidak bagaimana mungkin tanah tersebut bisa menjadi merah?
Nabi Menjawab: “Ya.” Maka ia melebarkan tangannya yang penuh dengan
tanah dan aku mengambilnya. Kemudian aku tidak bisa menahan mata ini
untuk menangis.
Apakah maknanya jelas? Pentahkik kitab
mengatakan, “Sanadnya hasan. Al-Haitsami mencantumkan riwayat ini dalam
Majma’ Az-Zawâid. Begitu juga Ahmad, Abu Ya’la, Al-Bazzar, dan
Ath-Thabarani dan periwayatnya tsiqât.” Penjelas kitab ini juga
mengatakan bahwa Nainawa adalah desa Nabi Yunus di Mosul, Irak, dan di
sana jugalah Karbala tempat dibunuhnya Al-Husain.
Sumber ketiga memiliki makna yang sama. Dari Musnad Abî Ya’lâ, jil. 6, hal. 129, hadis 3.402:
Dari Anas bin Malik, “Malaikat hujan memohon izin dari Allah untuk mengunjungi nabi saw. lalu diizinkan.”
Hal
ini tentu saja menimbulkan pertanyaan: apakah peristiwa ini terjadi
hanya sekali atau berkali-kali dengan malaikat yang berbeda? Sekali
dengan Jibril, sekali dengan malaikat yang belum pernah dijumpai
sebelumnya, sekali dengan malaikat hujan. Hal ini menunjukkan bahwa
peristiwa tersebut tidak hanya terjadi sekali, sehingga para malaikat
kepercayaan Ilahi sangat menekankan hal ini. Dalam riwayat ini ada nama
Imarah bin Za-dzan yang perlu saya sebutkan nantinya.
Pada hari tersebut beliau bersama Ummu Salamah. Nabi berkata, “Wahai
Ummu Salamah, jagalah pintu dan jangan biarkan seorangpun masuk.” Ketika
dia (Ummu Salamah) dekat pintu, Husain bin Ali membuka pintu dan masuk
ke ruangan. Kemudian nabi saw. mulai memeluk dan menciumnya. Malaikat
bertanya “Apakah engkau mencintainya?” Dijawab, “Ya” Malaikat berkata:
“Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Jika engkau berkenan, aku akan
menunjukkan tempat di mana mereka membunuhnya.”
Ada
banyak hal tentang hadis ini. Syahidnya Imam Husain tidak berhubungan
dengan detasemen sariyyah sebagaimana yang dikatakan Syekh Ibnu Taimiah,
tapi riwayat ini menyebutkan “umat”. Mereka [pendukung Dinasti Umayyah]
berusaha menganggap ringan masalah ini.
Nabi
menjawab, “Ya.” Maka ia mengambil segenggam tanah dari tempat dia
terbunuh dan menunjukkannya dalam bentuk sahlah atau tanah merah. Maka
Ummu Salamah mengambil dan menyimpan di bajunya.
Apa
yang Ummu Salamah lakukan? Menjaga tanah tersebut. Tapi saya heran jika
seorang Syiah mengambil sedikit tanah Karbala kemudian menjaga dan
menyimpannya, dikatakan: “Ini syirik! Ini bidah!” Inilah perkataan jahil
karena ummulmukminin sendiri melakukannya. Tapi mereka tetap
mengatakan, “Tak ada seorang pun di masa nabi baik laki-laki maupun
wanita yang melakukannya.” Istri nabi melakukannya di depan Rasulullah!
Tsabit berkata, “Kami mengatakan ia berasal dari Karbala.”
Pentahkik
mengatakan dalam catatan kaki kedua bahwa sanadnya hasan. Ahmad dan Abu
Naim dalam Dalâil An-Nubuwwah juga meriwayatkannya… Jemaah atau
sekelompok ulama mengatakan Imarah terpercaya. Menurut petahkik pada
dirinya ada kelemahan, namun periwayat dalam Abi Ya’la seluruhnya sahih.
Sumber penting lain adalah Shahîh Al-Jâmi’ Ash-Saghîr karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani, jil.1, hal. 73, hadis 61:
Beliau saw. berkata, “Jibril mendatangiku dan mengabarkan bahwa umatku
akan membunuh putraku ini—yakni Husain—dan membawakanku sedikit tanah
merah.”
Siapa yang datang? Jibril sang malaikat wahyu;
yang tidak datang untuk masalah biasa-biasa; yang datang hanya dalam
keadaan penting.
Albani menyatakan bahwa hadis ini
sahih. Hadis ini juga terdapat dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah,
jil.2, hadis 821. Hakim dan Baihaqi juga meriwayatkan hadis ini dari
Ummul Fadhl binti Al-Harits.
Dia menemui Rasullah
saw. dan berkata, “Wahai rasulullah, tadi malam saya mendapat mimpi yang
kurang jelas.” Nabi berkata, “Apa itu?” Dia berkata, “Sangat sedih”.
Nabi berkata “Apa itu?” Dia berkata: “Saya melihat seolah-olah bagian
dari tubuhmu terpotong dan diletakkan didadaku.” Nabi berkata “Engkau
melihat hal baik. Insya Allah Fatimah akan melahirkan bayi laki-laki dan
diletakkan di dadamu.” Maka Fatimah melahirkan Husain dan dia ada di
dadaku seperti yang pernah Rasulullah katakan kepadaku. Maka suatu hari
aku menemui Rasulullah dan meletakkan Husain di dadanya. Kemudian nabi
memalingkan wajahnya ke samping dan saya melihat air mata nabi
berlinang. Saya bertanya, “Wahai nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa
yang terjadi?”
Maka nabi menyebut hadis (tentang tanah
berwarna merah) tersebut di atas. Hadis ini sahih berdasarkan syarat
syaikhain (Bukhari dan Muslim). Tapi Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadis
ini lemah, maka Albani menolak pernyataan Adz-Dzahabi dan membela Hakim
dengan mengatakan: “Ada banyak bukti yang menunjukkan otensitasnya… di
antaranya hadis yang diriwayat Ahmad tersebut di atas,” tentang malaikat
yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Sumber lain
yang juga perlu diperhatikan adalah Silsilah Al-Ahâdîts karya Albani
jilid 3 pada catatan kaki hadis 1.171 tentang Imam Ali yang berseru
“Sabarlah, wahai Abu Abdillah” sebagaimana yang sudah kami sebutkan
sebelumnya. Albani mengatakan bahwa hadis tersebut sanadnya lemah. Dia
mengatakan, “Naji ayah Abdullah tidak dikenal, sebagaimana yang
dikatakan Adz-Dzahabi, dan tidak ada yang mempercayainya kecuali Ibnu
Hibban. Anaknya lebih masyhur dibandingkan ayahnya, sehingga jika ada
yang mensahihkan sanad ini, maka dia berbuat kesalahan.”
Setelah
membahas kelemahan sanad tersebut, dia melanjutkan, “Al-Haitsami
berkata bahwa Ahmad, Abu Ya’la, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani
meriwayatkan dan periwayatnya tsiqât.” Bagaimana bisa riwayat tersebut
lemah? Karena Naji bukanlah satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis
tersebut. Karena itu Albani menyebutkan beberapa hadis lain melalui 4-5
jalur yang berbeda untuk memperkuat hadis tersebut. Satu atau dua orang
periwayat mungkin saja lemah namun tidak mempengaruhi otensitas hadis
secara keseluruhan.
Kita juga menemukan hadis serupa namun sedikit berbeda dalam Shahîh Ibnu Hibbân, jil. 5, hal. 142, hadis 6.742:
Dari Anas bin Malik, “Malaikat hujan memohon izin dari Allah untuk
mengunjungi nabi saw. lalu diizinkan.” Pada hari tersebut beliau bersama
Ummu Salamah. Nabi berkata, “Wahai Ummu Salamah, jagalah pintu dan
jangan biarkan seorang pun masuk.” Ketika dia (Ummu Salamah) dekat
pintu, Husain bin Ali tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke ruangan lalu
duduk di punggung nabi.
Namun di Karbala, mereka menginjak-injak punggung Imam Husain yang diberkahi dengan kaki-kaki kuda.
Kemudian nabi saw. mulai memeluk dan menciumnya.
Mulut
inilah yang biasa dicium Nabi Muhammad saw. Tapi Yazid justru memainkan
mulut suci ini dengan tongkatnya. Saya akan memperjelas nantinya
bagaimana “Syekhul Islam” Ibnu Taimiah mencoba untuk membebaskan Yazid
dari kejahatannya. Dia berkata Ibnu Ziad yang melakukannya dan kepala
Imam Husain tidak sampai kepada Yazid. Kita sendiri sudah melihat
bagaimana Ibnu Taimiah menilai kesyahidan dan darah Imam Husain. Kita
juga membandingkan bagaimana wahyu Ilahi memperlakukan kesyahidan Imam
Husain. Kita melihat bagaimana nabi saw. memperlakukan mulut Imam Husain
dan bagaimana Yazid, yang dibela oleh Ibnu Taimiah, memperlakukannya.
Malaikat bertanya “Apakah engkau mencintainya?” Dijawab, “Ya.” Malaikat
berkata: “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Jika engkau berkenan,
aku akan menunjukkan tempat di mana mereka membunuhnya?” Nabi menjawab,
“Ya.” Maka ia mengambil segenggam tanah dari tempat dia terbunuh dan
menunjukkannya dalam bentuk sahlah atau tanah merah. Maka Ummu Salamah
mengambil dan menyimpan di bajunya.
Kemudian, apakah
hadis ini mutawatir? Ada riwayat yang disampaikan dari Ali bin Abi
Thalib melalui berbagai jalur, ada yang berasal dari Anas bin Malik,
Ummu Salamah dan Aisyah dari berbagai jalur berbeda dan terpercaya,
begitu juga dari Ibnu Abbas dan Ummul Fadhl. Ibnu Hazm berkata jika ada
lima sahabat terpercaya menyampaikan hadis maka ia menjadi hadis
mutawatir.
Apa makna mutawatir? Ia kepastian mutlak
berdasarkan syarat madrasah sahabat (ahlusunah) bahwa riwayat
tersebut—baik ucapan, perbuatan, dan persetujuan—benar-benar berasal
dari nabi saw. Hal yang sudah jelas bagi madrasah ahlulbait dan tidak
ada keraguan di dalamnya. Tidak ada topik penting terkait akidah dan
fakta sejarah yang fundamental menurut madrasah ahlulbait, kecuali
terdapat dengan jelas dan sahih dalam sumber-sumber ahlusunah.
Apa
yang Syiah ahlulbait katakan tentang kesyahidan Imam Husain, tanah dan
darahnya, bukanlah hal bidah yang dibuat-buat, apalagi berasal dari
Abdullah bin Saba, orang Persia, atau Yahudi. Tetapi inilah yang Nabi
Muhammad saw. katakan kepada kita semua.
Saya akan mengakhiri kesempatan kali ini dengan mengutipkan sebuah riwayat dari kitab Bukhari:
Dari Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan bahwa ada serombongan orang
(sahabat) yang berpergian bersama Rasulullah saw. kemudian singgah di
Al-Hijr, negeri Tsamud, lalu mereka mengambil air dari sumurnya dan
membuat adonan roti, maka Rasulullah saw. memerintahkan mereka agar
menumpahkan air yang diambil dari sumurnya dan agar adonan roti
dijadikan makanan buat unta dan memerintahkan mereka agar mengambil air
dari sumur-sumur yang dilalui oleh unta.
Apa yang ingin
Rasulullah sampaikan? Di sini ada air, di sana ada air… apa bedanya?
Ketika unta Nabi Saleh, sebagai tanda kebesaran Allah, minum dari sumur
tersebut maka ia memberikan keberkahan meskipun sudah terjadi 3.000
tahun yang lalu! Lalu, bagaimana dengan tanah Karbala yang menyerap
darah Pemimpin Pemuda Surga? Apakah kita tidak bisa mengambil keberkahan
dari tanah tersebut sampai hari kiamat? Wallahualam.
Catatan:
Disarikan dari acara Muthârahât fil Aqîdah. Diterjemahkan dari bahasa
Arab ke bahasa Inggris oleh wais910. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia
oleh Ali Reza yang dilengkapi dengan tautan untuk mengunduh kitab. Letak
hadis bisa berbeda dari yang disebutkan oleh Sayid Kamal Al-Haydari.
Sariyyah adalah angkatan perang yang jumlahnya antara 100-500 orang,
sedangkan jaisy angkatan perang yang jumlahnya di atas 800 orang. Maaf
atas segala khilaf jika terjadi kekeliruan penerjemahan.
No comments:
Post a Comment